Selasa, 08 Maret 2011

Antara Dialek, Pengetahuan dan Kebiasaan

Jangan merasa aneh membaca judul postingan ini. Saya tidak tahu mengapa tiba-tiba mengetik judul ga jelas banget. Hemh… mungkin ini sarana curhat terbaik bagi saya (mungkin), di saat menyadang gelar ‘mahasiswa sains semester 6’ hehehe… Jadi teringat guyonan para Monge’, “Memang nasib sudah mau lulus tapi tingkahnya tetep ae kaya MaBa.”

Dipikir-pikir benar juga, apa yang mereka katakan. Maka dari itu, postingan ini mungkin bias digunakan sebagai refleksi diriku (pribadi). Semoga dapat pula bermanfaat bagi kalian.
Ok, kita mulai dari mana ya?!

Jadi teringat tentang kejadian waktu simulasi di kelas Pembelajaran Sains yang lalu. Sebutan ngetrennya Matkul PS. Matkul ini ada tiga kali secara berturut-turut mulai dari semester 3 sampai semester 5. Ga tanggung-tanggung bobotnya 4 SKS +1 terstruktur dan itu wajib diikuti oleh semua mahasiswa prodi Pendidikan Sains, tempat tongkronganku. Hehehe…)

Singkat cerita, entah kenapa aku termasuk mahasiswa yang dibilang kurang beruntung dalam matkul ini, tapi tetap lucky dalam prosesnya. Kenapa?? Kurang beruntung sebab dapetnya cuma triple B , untungnya aku tidak perlu susah-susah untuk mendapat nilai B ini.
Berikut adalah deretan peristiwa singkat INA ISNAINI mendapatkan nilai B

PS I

Masuk kuliah => Mencatat+mengumpulkan tugas => NILAI B

PS 2

Masuk kuliah => Mencatat+mengumpulkan tugas => Simulasi 20 menitan live with Mrs. Mita => dapet tipe STAD maju urutan no 4 => nerveos => sepuluh menit di pembukaan saja => NILAI B

PS 3

Masuk kuliah => Mencatat+mengumpulkan tugas => dapat pembimbing Kaprodi (The SETS Master)=> Simulasi 20 menitan bersama Bu Lely => nerveos => 20 menit pun berlalu 1 jam => NILAI B

Ckckck…. Jauh rasanya dari kata “Sukses Simulasi”. Jadinya bikin mikir, “Apa INA tidak berjodoh menjadi calon guru ya?” Simulasi gagal terus. Satu penyebabnya adalah dredeg lan speechless. Lidah keluh bak kehabisan kata saat tampil di depan teman-teman sendiri, belum lagi di depan the real class. Yang menyumbat adalah DIALEK JOWO yang secara ngawurisasi tak sengaja sering terucap.


Sebagai orang Jawa tulen, bahasa Jawa dengan kontaminan dialek SURABAYA merupakan bahasa sehari-hari. Dan gawatnya dialek ini telah mendominasi gaya bicaraku, sudah kebiasaan jare. (Tuh kan keluar dialeknya). Sungguh terlalu, padahal belajar Bahasa Indonesia dari sejak TK sampai Semester 6. Kok cikmen tetep kalah wae ama suroboyo-ane. Sampun 9 taun dipun wucal bahasa jawi kawruh basa ingkang sopan lan alus, lha dumadose ngoko terus. Pripun.. pripun… piye niki?? Hehe.. (semoga dapat diartikan). 17 tahun B.Indo, 9 taun B.Daerah, 11 years with English, 1 jear Deutch, 6 taun B’Gaul campur aduk. Endingnya Suroboyoan maneh…


Kebiasaan, seperti teorinya Pavlov yang dikenal melalui anjingnya, terkadang dapat mempengaruhi aktivitas kita. Gara-gara kebiasaan berdialek suroboyoan jadi terasa keluh berbahasa Indonesia yang baik dan resmi. Tanpa kemampuan verbal yang mendukung, sebesar apapun pengetahuan seseorang menurutku pasti menjanggal show kita. Terutama bagi seorang guru yang identik dengan ceramah dan ilmu.


Apa yang seharusnya aku dan mungkin anda lakukan untuk memperbaikinya?

Semoga bermanfaat (^_^)

0 komentar:

Posting Komentar

Hello Kawan!
Terima kasih atas kunjungannya ke halaman ini. Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat bagi kawan semua.
Sebagai bentuk apresiasi, anda dapat meninggalkan komentar, saran atau pertanyaan
Terima kasih...